Titus Kristhoforus Pekei : Memperkenalkan “Noken” di Seluruh Dunia

Titus Kristhoforus Pekei

IDNKatolik.com – MEMANDANG noken, kenangan masa kecil Titus Kristhoforus Pekei terajut kembali. Masih segar dalam ingatannya, sang ibu selalu memasukkan ubi, sayur daun papaya rebus, buku, dan alat tulis ke dalam noken-nya. Rajutan tas khas Papua itu, diselempang di dadanya, Titus berangkat ke sekolah. Sang ibu, selalu berpesan, “Titus, ko jaga baik-baik noken ini”. Pesan ini berate tidak saja menjaga noken, tetapi menjaga ubi dan sayur rebus agar tidak lapar selama sekolah. Maklum untuk sampai di sekolah harus berjalan kaki hampir dua jam pulang pergi.

Pengalaman ini tidak saja dialami di masa kecilnya. Saat menempuh pendidikan di Sekolah SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura, Titus juga selalu membawa noken ke sekolah. Dulu, kebiasaan membawa noken di Papua semacam suatu hal yang diwajibkan. Di sekolah, mereka saling melihat isi noken masing-masing. “Bila ada anak yang tidak memiliki makanan, anak lain segera mengeluarkan ubi, sayur, daging babi, atau sagu lalu dibagi. Kami makan bersama diselingi cerita mop (lawakan lucu),” cerita Titus.

Sederhana sekali, noken melatih anak-anak Papua untuk saling peduli. Nilai utama adalah saling berbagi antar mereka. Ini menjadi kekuatan anak-anak Papua. “Rasa persaudaraan tergambar dalam penggunaan noken,” urai Titus.

Noken bukan sekadar tas. Noken adalah entitas orang Papua. Noken memiliki filosofi yang melekat di hati orang Papua. Bisa memiliki peran penting untuk menjaga perdamaian antarsuku. Saat berunding tentang perdamaian, semua permintaan harus ditaruh di dalam noken. “Kalau tidak ada noken, bisa perang antarsuku. Dalam noken ada daun sirih, buah pinang, tembakau, atau sopi yang akan dibagikan untuk dikonsumsi bersama,” ujar Titus.

Diskriminasi Kebudayaan

Bagi Titus, berbicara noken, hatinya selalu bergebu-gebu. Kelahiran Wakeitei, Kabupaten Deiyai, 19 September 1975 ini, selalu punya hasrat yang tinggai dalam memperkenalkan noken. Saat kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Titus selalu membawa noken ke mana-mana. Noken pengganti tas kuliah. Keunikan noken membuat beberapa teman dari Yogyakarta kerap memesan noken dari Titus.

Melihat ketertarikan rekan-rekannya, Titus memiliki tekad untuk memperkenalkan noken di seluruh dunia. Sejak Februari 2008, Titus mulai berjuang agar noken di kenal. Ia menyambangi hampir seluruh penjuru pulau terbesar di Indonesia untuk meneliti noken. “Saya mendapati kenyataan pahit. Noken terancam punah, jika tidak segera dilestarikan,” ujarnya prihatin.

Memperkenalkan noken tak semudah membalikkan telapak tangan. Noken dianggap benda yang tak berharga, murah, dan tidak bermodel alias ketinggalan zaman. Menurut Titus, bila melihat noken hanya sebatas benda, maka pola pikir kita hanya pada nilai materialistik. Noken itu berharga karena nilai yang terkandungnya. “Bayangkan mama-mama Papua harus merajut noken dengan penuh cinta. Dari tangan mama-mama, jadilah noken. Bila melihat prosesnya, kita hanya bisa mengelus dada. Jadi melihati noken, lihatlah dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,” tegas Titus.

Berbekal hasil penelitian, Titus menyusun program yang kemudian diajukan ke UNESCO, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan. Dalam pemikiran Titus, noken harus menjadi warisan budaya dunia sejajar dengan batik, keris, dan angklung. Sebab ia tak ingin ada diskriminasi kebudayaan yang nyatanya hanya dinikmati oleh wilayah Indonesia Barat.

Proposalnya sempat ditolak dan minta diperbaiki, tetapi Titus tak putus semangat. Ia membenahi proposal itu dan terus melakukan diplomasi dengan berbagai pihak. Perjuangan ini berbuah manis. Selasa, 4 Desember 2012, UNESCO memutuskan, noken sebagai warisan budaya yang memerlukan perlindungan mendesak. “Ini bukan keberhasilan saya. Ini kebanggaan untuk saya dan masyarakat Papua! Terutama mama-mama Papua yang berjuang melestarikan noken.

Status Hidup

Dalam pengamatan Titus, alasan utama noken dilestarikan terlepas dari nilai kebudayaannya, salah satunya terkait menyelamatkan bahan baku noken. Saat ini bahan baku noken hampir punah. Bahan baku ini ditiap wilayah Papua berbeda-beda. Di suku Arfak dan Mee, membuat noken dari serat kayu pohon ‘obba’ atau yang biasa disebut noken anggrek.

Demi mempertahankan kebudayaan ini, suku-suku di Papua sedang berjuang melestarikan dan menanam bahan baku noken seperti sukun, pohon ara, melinjo, lobiri, dan bahan baku lainnya. Prosesnya juga tidak mudah. Mulai dari pengambilan bahan baku, pemisahan kulit, penjemuran, pemotongan dan pemintalan, penganyaman dan pewarnaan, sampai pemasarana. Proses yang panjang ini bisa memakan waktu berminggu- minggu, tergantung penyediaan bahan baku dan alamnya.

“Meski dengan jerih payah, ketika dipasarkan, noken masih bisa ditawar murah oleh pembeli. Tidak saja itu, kerapkali terjadi mama-mama Papua dibohongi dengan uang palsu, uang robek, atau uang dengan kwantitas banyak tetapi nominalnya tak sesuai harapan,” sebutnya.

Titus melanjutkan, agar mama-mama Papua bisa bertahan hidup, bahan baku noken harus dilestarikan. “Dengan begitu kita menyelamatkan hutan dan lingkungan di Papua. Selain itu kita berjuang memberdayakan mama-mama Papua agar bisa hidup dari noken,” jelas Titus.

Noken sejatinya milik perempuan Papua. Ia menjadi simbol kesuburan perempuan. Noken menunjukkan status perempuan Papua yang telah dewasa dan siap menikah. “Perempuan yang bisa merajut atau menganyam noken, berarti mampu merajut kehidupan berkeluarga,” imbuhnya.

Tapi, Titus tidak dapat menampik, saat ini sedikit perempuan Papua yang bisa membuat noken. Perempuan-perempuan muda di Papua lebih memilih menggunakan tas berbahan plastik. “Ya, ini membuat keberadaan noken menjadi tergerus!” protesnya.

Bagi Titus, tanah Papua yang dihuni 250 suku dan tersebar di sembilan wilayah adat (Papua dan Papua Barat), menjadi satu kesatuan yang indah, yang terajut melalui benang noken. Titus menengarai, beragam persoalan yang hingga kini membelit Bumi Papua, lantaran noken mulai jarang ditemui di Papua. “Bisa jadi masalah yang belum usai hingga saat ini terjadi, karena tidak ada noken dan kesempatan duduk bersama,” ujarnya.

Menurut Titus, perdamaian akan tercipta karena ada keinginan bersama untuk merajut atau menganyam berbagai perbedaan menjadi satu kesatuan yang indah, bagai merajut atau menganyam noken.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *