Provinsi Gerejawi Samarinda: Semakin Mandiri, Semakin Bersaudara

IDNKatolik.com – Medan wilayah perairan yang menantang menumbuhkan daya misioner di bumi Kalimantan.

TAHUN 1907 tiga misionaris kapusin menyusuri Sungai Mahakam. Setelah melakukan perjalanan tiga hari dengan perahu, mereka menetap di kampung Laham. Mereka mempelajari bahasa Dayak Busang lalu membuka sekolah Katolik pertama di Kalimantan Timur pada tahun 1911. Sekolah- sekolah Katolik kian maju sejak suster Fransiskanes dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Allah (SFIC) tiba. Paling terasa ketika orang dayak sadar bahwa sekolah merupakan simbol kemajuan. Setelah itu, dibuka beberapa asrama untuk laki-laki dan perempuan. Terjadi pembaptisan pertama di tahun 1913 pada 16 anak laki-aki dan tahun 1924 kepada 20 anak perempuan.

Lambat laun, para biarawan Kapusin kelelahan karena kurangnya tenaga sedangkan misi di Kalimantan Barat mulai berkembang, maka tahun 1926 Kalimantan Timur dan Selatan diserahkan kepasa Misionaris Keluarga Kudus (MSF)

Tahun 195 Kalimantan Timur dipisahkan dari Vikariat Banjarmasin dan menjadi Vikariat Apostolik Samarinda. Enam tahun kemudian menjadi keuskupan. Pada awal tahun 2000 Keuskupan Samarinda berkembang menjadi 33 paroki, kemudian ditingakan statusnya menjadi Keuskupan Agung Samarinda tahun 2003.

Sadar akan Kemandirian

Keuskupan Agung Samarinda melayani 141.548 umat Katolik dari total populasi 3.489.102 jiwa berdasarkan data Keuskupan Agung Samarinda 31 Desember 2019. Mengenai kemandirian, Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF menuturkan bahwa sejak dahulu sudah ada pencanangan mengenai kemandirian. Namun, perlu disadari bahwa praktiknya tidak mudah.

Tantangan bukanlah suatu alasan untuk berhenti. Keuskupan Agung Samarinda tetap mengusahakan kemandirian tersebut. Dalam bidang tenaga pastoral,  keuskupan agung mendorong para imam dan biarawan/ti untuk memperomosikan panggilan hidup dengan berdialog bersama umat.

“Sekarang ini ada dua imam diosesan dari Ambon untuk membantu di sini. Maksudnya, supaya dengan kehadiran imam-imam diosesan ini, ada ketergerakan dari orang muda yang ingin menjadi imam-iman diosesan. Kemandirian keuskupan itu juga terlihat dari tenaga imam diosesan,” ungkap Mgr. Harjo. Bagi tenaga pastoral, keuskupan memiliki Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Keuskupan Agung Samarinda yang mendidik calon-calon katekis dan guru agama di sekolah-sekolah dan paroki.

Kemudian kemandirian dalam bidang dana, Mgr. Harjo menambahkan bahwa sekarang  paroki- paroki setempat memanfaatkan lahan-lahan paroki yang selama ini kurang dikelola. Juga, paroki sedang marak dan mengusahakan peternakan burung walet yang di beberapa daerah sangat menjanjikan, karena situasinya mendukung.

“Rupanya kesadaran umat untuk bertanggung jawab atas hidup dan berkembangnya Gereja, juga dalam hal dana ini perlu terus disosialisasikan, disadarkan dan dimotivasi, apalagi di paroki-paroki tertentu yang pada masa awal umat hampir selalu menerima dan bukan memberi, mendapat bantuan dan bukan berbagi. Di daerah-daerah tertentu, sejumlah paroki memberi kesan mandiri karena menerima bantuan dari pemerintah daerah. Jika tidak disikapi dengan bijak, bantuan itu justru bisa menghambat kemandirian, karena mengembangkan kecenderungan untuk menerima dan bukan berusaha untuk bisa mandiri,” jelasnya.

Mengakar dan Misioner

Tantangan lain yang dihadapi di tanah borneo ini pun adalah nilai kebudayaan yang kurang setara dengan ajaran Gereja. Padahal, menurut Mgr. Harjo, nilai dalam keduanya sama. Contohnya, persaudaraan, rasa saling berbagi yang khas pada suatu adat justru dibedakan dengan nilai injili. “Kami berupaya menjadi orang Katolik yang sejati di tanah Kalimantan,” ungkapnya.

Sehingga keuskupan agung mempunyai arah dasar yakni bersama membangun Gereja yang hidup, mengakar dan misioner. Artinya, menghidupkan Gereja dengan rasa persaudaraan dengan iman yang mengakar. Akses jalan di beberapa daerah sudah mumpuni, harapannya satu kampung dengan kampung yang lain dapat bersosialisasi dan tidak merasa eksklusif. Juga, tradisi dan adat istiadat yang kental, tidak jarang jika perayaan keagamaan digabungkan dengan adat. Ada inkulturasi. Contohnya, pembukaan Misa dengan tarian daerah.

Kemudian segi misioner. Untuk bulan misi, Keuskupan Agung Samarinda membuatnya menjadi tahun misi luar biasa. “Tentu diisi dengan kegiatan bermacam, salah satunya kisah misi. Bagaimana stasi-stasi terbentuk, cerita bersama, selain sejarah muncul juga narasi misi,” jelas Mgr. Harjo.

Menurut Mgr. Harjo, misi internal juga penting, yakni di karakter umat Katolik di Kalimantan Timur dalam mengenal apa yang diyakini. “Jarang ada orangtua yang bertanya kepada anaknya, kok kamu tidak ke gereja? Sehingga  ini membukatikan bahwa kurang pengolahan iman dari keluarga,” terangnya.  Memang tersedia guru agama dan para katekis, tetapi alngkah baiknya iman itu bertumbuh dari keluarga. Jadi yang diusahakan pula tidak hanya misi keluar, berbagi dan membantu tetapi juga menguatkan akar iman itu sendiri.

Daya Roh Kudus

Sedangkan bagi Uskup Banjarmasin, Mgr. Petrus Boddeng Timang, dalam wawancara tertulis, 1/10,  Gereja mandiri adalah Gereja yang umatnya dipenuhi dengan daya dan kuasa Roh Kudus. Daya itu dan semakin mewujud nyatakan iman dalam hidup mengereja dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, cita-cita itu dirangkum dalam ungkapan 100% Katolik dan 100% Indonesia. Hasilnya terlihat dalam dua aspek: memperkuat Gereja ke dalam dan keluar menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Gereja mandiri adalah Gereja yang misioner, yang terus menerus berinteraksi.

Akan tetapi, Gereja mandiri itu didukung dan ditampakkan dalam struktur formal seperti jumlah personil pelayanan yang memadai, dukungan finansial berkesinambungan, pelayanan terkoordinir rapi, terhubung satu sama lain dan efisien serta efektif dalam kegiatannya. Oleh sebab itu, Keuskupan Banjarmasin menyelengarakan Sinode Keuskupan yang pertama pada tanggal 16-19 Juli 2013. Persiapan sinode itu dimulai sejak November 2011 dengan menyelengarakan sensus umat di seluruh Keuskupan.

Berkembang

Hasil Sinode merumuskan menjadi kerangka Arah Dasar (Ardas) Keuskupan selama 10 tahun ke depan (2015-2024). Ardas, visi dan misi Gereja Katolik di Kalimantan Selatan (Kalsel) dibagi atas dua periode. Periode pertama (2015-2019) bertujuan membangun  umat Keuskupan Banjarmasin bertekun dalam pengajaran dan persekutuan  dan periode kedua (2020-2024) bertujuan membangun umat menjadi Gereja yang memancarkan Kasih Allah. Misi ini pun diemban oleh pelayan pastoral bersama awam.

“Saat ini, jumlah imam diosesan berjumlah tujuh orang ditambah dua orang iman misionaris dari Keuskupan lain,” ungkap Mgr. Timang. Sebagian besar imam yang melayani Keuskupan Banjarmasin adalah para imam religius yang berasal dari berbagai tarekat imam.Untuk memberikan kesempatan kepada OMK yang berminat mempersiapkan diri sebagai imam diosesan, hadir Seminari Menengah St. Petrus (SMSP).

Dalam hal pendanaan, Mgr Timang menuturkan, sejauh ini sumber utama dan satu-satunya pendanaan kegiatan Keuskupan Banjarmasin adalah partisipasi umat yang diberikan dengan sangat murah hati ditambah bantuan insidental dari berbagai pihak di luar Keuskupan. “Keuskupan perlu mengupayakan sumber-sumber dana lainnya secara mandiri terlebih di masa pandemi ini. Paroki sudah mulai secara kecil-kecilan merintis usaha produktif untuk mencukupi kebutuhan pastoran dan paroki. Pada tingkat Keuskupan upaya serupa masih sedang dirancang dan dirintis,” jelasnya.

Menyapa Pedalaman

Wilayah pelayanan Keuskupan Banjarmasin, dibelah oleh sebuah pegunungan bernama Pegunungan Meratus yang berbatasan dengan provinsi Kaltim, Keuskupan Agung Samarinda. Di daerah itu berdiam beberapa kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai rumpun. Mereka disebut “Dayak Meratus”.

Sejak 11 tahun lalu, Keuskupan Banjarmasin mulai menyapa kelompok ini. Keuskupan Banjarmasin melalui suatu badan setingkat komisi “Pemberdayaan Dayak Meratus” dibentuk untuk pelayanan khusus kepada mereka. Upaya pemberdayaan itu semakin intens sejak enam tahun terakhir seiring dengan datangnya para relawan Komunitas Tritunggal Mahakudus (KTM) yang berpusat di pertapaan Shanti Buana Cakanyere Cianjur, Jawa Barat. Mereka tinggal di daerah itu selama satu hingga dua tahun secara berkelompok. “Keuskupan sangat beruntung dan terbantu dalam kegiatan misionernya oleh para relawan muda tersebut dalam menyapa dan memberdayakan masyarakat yang bermukim disekitar Pegunungan Meratus,” ungkap uskup kelahiran 7 Juli 1947 ini.

Kenyataan itu merupakan salah satu tantangan kemandirian Keuskupan Banjarmasin yaitu membangun Gereja yang sungguh berakar di Bumi Banua (Kalsel) dengan umat yang sebagian besar adalah migran yang datang dari luar Kalsel. “Kami seperti miniatur NKRI dan Gereja menyatukan semangatnya,” sebut Mgr. Timang.

Maka, keterlibatan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan memasyarakat semakin kuat. Gereja katolik tidak lagi sekadar ada di Indonesia melainkan meng-Indonesia dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran Gereja Katolik Indonesia di antara gereja lain di belahan bumi lain juga semakin diperhitungkan dan diparesiasi oleh Tahkta Suci. “Dirgahayu Gereja Katolik Indonesia menjelang perayaan 60 tahun hierarki,” pungkasnya.

Gotong Royong

Dengan diumumkannya oleh “L’Oservatore Romano”, Keuskupan Palangka Raya memiliki uskup baru yakni Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF pada 14 Februari 2001. Mengikuti perkembangan keuskupan selama hampir 20 tahun, Mgr. Sutrisnaatmaka menuturkan bahwa dalam hal tertentu Keuskupan Palangka Raya dapat dikatakan mandiri karena sudah ada perkembangan, namun dalam dalam hal lain sama sekali masih jauh.

Dalam wawancara dengan HIDUP pada Rabu, 30/9, Mgr. Sutrisnaatmaka menyebutkan sebuah Gereja dapat dikatakan mandiri dilihat dari tiga segi, yakni: finansial, saat paroki dan keuskupan bisa membiaya sendiri seluruh kegiatan; tata kelola baik secara rohani maupun material; dan kedewasaan dalam beriman yang diukur dari aktif partisipasi tenaga pastoral baik pihak tertahbis maupun non tertahbis. Keduanya dilihat secara kuantitatif dan kualitatif.

Melanjutkan penjelasannya, Mgr. Sutrisnaatmaka menuturkan, “Ketika 20 tahun lalu saya datang, dari 15 paroki hanya tiga paroki yang mandiri, sisanya masih mengandalkan subsidi keuskupan. waktu itu masih harus mencari dana sampai ke luar negeri. Kini, ada perkembangan lumayan di bidang finansial sebab paroki sudah berkembang hampir 27 Paroki di bulan Januari nanti.” Guna mendukung perkembangan itu, keuskupan menerapkan dana solidaritas antar paroki. “Maka secara finansial, keuskupan bisa dikatakan cukup mandiri karena mampu membiayai banyak kegiatan dan pendidikan imam,” imbuhnya.

Akan tetapi, Uskup yang pernah berkarya di Paroki St. Theresia Balikpapan ini menilai tata kelola keuskupan masih jauh dari mandiri. “Kami masih meminta tolong bantuan imam dari keuskupan lain dan juga bantuan misionaris dari banyak tarekat. Untuk itu, kami masih agak jauh dari kemandirian dalam segi ini,” ungkapnya. Meskipun demikian, ia cukup berbahagia karena sudah ada sekitar tujuh hingga delapan imam yang lahir dari masyarakat asli Dayak.

Meningkatkan kualitas

Di sisi lain, Mgr. Sutrisnaatmaka juga berbahagia dengan kehadiran Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangka Raya pada tahun 2002. Ia melihat, dengan hadirnya lulusan STIPAS kehidupan stasi menjadi lebih hidup. “Ketika lulusan STIPAS mulai berkarya, di stasi sudah mulai ada kor dan kegiatan sekolah minggu kembali aktif. Terlihat ada kemajuan nyata,” terangnya. Meskipun belum dapat dikatakan berkolerasi secara langsung dengan pertumbuhan panggilan, namun STIPAS telah menjadi penyebar kecil bibit iman.

Untuk mendukung tumbuh suburnya panggilan, keuskupan juga mendirikan Seminari Menengah Raja Damai di tahun 2002. Selain itu, Secara kuantitatif pertumbuhan umat meningkat pesat dan tenaga pastoral semakin dibutuhkan. “Awalnya memang sulit, siswa pertama masuk ada sembilan orang kemudian satu persatu keluar. Kami mulai dari awal lagi dan terakhir ada tiga imam yang ditahbiskan berasal dari seminari ini,” ujar Mgr. Sutrsinaatmaka.

Jalan imamat pun dirawat sedemikan rupa oleh keuskupan dengan mencanangkan program bina lanjut para imam dan katekis. Keuskupan terus mengadakan program bina imam Balita (Tahbisan di bawah lima tahun). Selain itu, bersama dengan Provinsi Gerejawi Samarinda mengadakan program “Quinquennale” bina lanjut imam muda yang mempertemukan imam Balita dari empat keuskupan.

Kemudian beberapa imam diterbangkan ke Jogja untuk bergabung dalam pertemuan dengan seluruh imam dari berbagai tempat di Indonesia. Selanjutnya bagi yang memenuhi syarat berusia kurang dari 35 tahun, akan diutus studi ke Roma. Sedangkan yang usianya telah lewat diutus ke Manila. “Semuanya ini untuk meningkatkan kualitas para imam dan nantinya ditugaskan di tempat pendidikan,” jelasnya. Keuskupan menyadari berdasarkan Hukum Gereja masih memerlukan beberapa spesialis imam. “Kami belum punya imam yang belajar khusus Kitab Suci, Katekese, dan liturgi. Tapi perlahan kami mengusahakan itu,” ungkapnya.

Memasuki usia 60 tahun Hierarki Gereja Katolik di Indonesia, Mgr. Sutrisnaatmaka melihat bahwa Hierarki di Indonesia memiliki kemajuan dalam arti semakin dewasa dapat kian sejajar dengan Gereja di tempat lain. Tanda ini dilihat jelas dengan untuk ketiga kalinya terpilih seorang Kardinal. Ini tanda Hierarki di Indonesia berkembang. Kedua, persaudaraan berhierarki kian kental sehingga sifat Gereja yang universal dapat dipraktikkan dengan cukup matang di Indonesia. “Melalui KWI semua mekanismenya bisa dilaksanakan dengan baik,” tuturnya.

Tiga Hal Kemandirian

Tanjung Selor merupakan keuskupan yang dipisahkan dari Keuskupan Agung Samarinda pada tahun 2001. Kendati terbilang masih dini, keuskupan ini melayani 53.280 umat Katolik menurut data Keuskupan Tanjung Selor, 31 Desember 2019.

Terkait kemandirian, Uskup Tanjung Selor, Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF, mengatakan kemandirian Gereja diukur dari iman akan Yesus Kristus dan kesanggupan untuk menghayati iman dalam hidup harian sebagai kelompok maupun sebagai pribadi. Maka, Mgr. Yan Olla menuturkan tiga hal. Pertama segi iman. Iman dihayati melalui ketekunan dalam mendalami ajaran-ajaran iman (segi doktrinal), mengungkapkannya dalam persekutuan kasih (komunio) dan merawatnya melalui pengudusan anggotanya (liturgis) serta keberpihakan pada yang miskin maupun keterlibatan sosial (pelayanan dan kesaksian).

Kedua, kemampuan bersaksi, melalui semangat misioner anggota Gereja. Menurut Mgr. Yan Olla, sebuah Gereja yang tertutup pada dirinya sendiri belum dapat dikatakan mandiri atau dewasa. Gambaran para murid Perdana yang lari dari kota ke kota karena penganiayaan tetapi sambil mewartakan Injil (bdk., Kis 8:1-4) menjadi gambaran Gereja yang dewasa dan tahan uji dalam imannya. “Gereja hanya mandiri ketika mampu keluar dari dirinya sendiri. Kemandirian Gereja terlihat dari kemampuan untuk memberi dari kekurangan dan kesulitan yang dialaminya,” jelas Mgr. Yan Olla. Ketiga, unsur-unsur pendukung yang mencakup tersedianya dukungan manusia berkualitas, sarana-prasarana, dukungan finansial yang memadai untuk mendukung segala aspek penghayatan iman.

Mengupayakan Pewartaan Iman

Tahun ini, Keuskupan Tanjung Selor berusia 18 tahun. Ada wilayah yang telah lama mendapat pewartaan, tetapi karena medan yang sulit dan kurangnya tenaga pastoral, maka pendalaman iman kurang dilakukan secara intensif. Katekese sangat penting, tetapi perlu didukung manusia, prasarana dan kemampuan finansial yang belum memadai.

Langkah-langkah menuju pendalaman iman dilakukan dengan lebih dahulu menyiapkan tenaga pastoral imam maupun katekis. Sejak berdirinya, tahun 2002, keuskupan ini dibantu beberapa keuskupan lain dengan pengiriman imam antara lain dari Keuskupan Agung Semarang, Jakarta, Bandung, Bogor dan beberapa keuskupan lain. Namun, dua tahun terakhir ini hanya keuskupan Bogor dan Pangkalpinang yang masih membantu dengan tenaga imam, kendati kebutuhan akan imam masih tinggi.

Keuskupan Tanjung Selor telah mendirikan Seminari Menegah St. Joseph di Tarakan dengan jumlah siswa yang mencukupi. Pada tahun 2020 tercatat 24 orang siswa. Jumlah frater di tahun Rohani di Lawang dan Seminari Tinggi STFT Widya Sasana Malang pun terbatas, 10 orang namun bagi Mgr. Yan Olla, jumlah ini memberi harapan. Di sana masih diusahakan pembangunan infrastruktur untuk memungkinkan penerimaan siswa yang lebih banyak.

Keuskupan Tanjung Selor mempunyai jumlah mahasiswa kateketik yang cukup banyak kendati harus menjalani pendidikan di luar keuskupan. Di tahun 2019, tercatat ada 75 calon Katekis yang belajar di berbagai kota di pulau Jawa.

Keuskupan juga menggerakkan paroki-paroki untuk mengadakan pemberdayaan umat dalam bidang sosial skonomi. Salah satunya membudiyakan tanaman kakao di wilayah yang cocok untuk daerah tertentu dan usaha-usaha lain untuk kesejahteraan umat.

Gereja mandiri, menurut Mgr. Yan Olla, seharusnya bertumbuh pula dalam konteks sosial, budaya dan etnisitas setempat. Tanjung Selor menjadi jalan keluar dan masuknya tenaga migran ke Malaysia atau mereka yang kembali dari Malaysia dan memilih menetap di Tanjung Selor. Sehingga Keuskupan Tanjung Selor merupakan keuskupan yang kebanyakan paroki dan stasinya didominasi oleh pendatang yang mencari kerja.

Karena situasi ini, gerakan mengakarkan iman dalam budaya Suku Dayak hanya terjadi di beberapa bagian saja dari keuskupan. Sedangkan kebanyakan umat pendatang tidak bisa  dipaksa untuk mengadopsi budaya lokal dengan mudah. Dengan demikian ada situasi-situasi baru yang bisa disebut Areopagus baru (bdk. Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, no. 36). Para pekerja migran di perkebunan kelapa sawit, kemudian para pekerja di tambang batu bara maupun tambang emas dan para perantau tanpa kerja menjadi medan-medan yang memerlukan pewartaan iman.

Ada saatnya, mereka juga tidak dapat tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan Gereja secara rutin. Kegiatan mereka ditentukan oleh jadwal kerja perusahaan. Maka kerap terjadi perpindahan yang cepat. Pastoral berdasarkan kategori geografis menjadi relatif. Ada stasi yang hanya berusia pendek karena penduduknya bisa pindah sewaktu-waktu mengikuti arahan perusahaannya.

“Menjadi tantangan bagi keuskupan untuk membantu mereka yang berada dalam kelompok-kelompok itu menghidupi dan mengungkapkan imannya sesuai situasi mereka yang khusus, tanpa jaminan bahwa mereka akan menetap seterusnya di Tanjung Selor,” ungkapnnya.

Bagi Mgr. Yan Olla, denganya sebuah hirarki Gereja di Indonesia, menjadi suatu bantuan agar penggembalaan dalam gereja lebih terarah dan tertata dengan baik. Gereja bisa bertumbuh. Mungkin yang kini diperlukan adalah solidaritas semakin besar tidak hanya antar para pemimpin tetapi antarumat dari berbagai keuskupan untuk saling berbagi dalam suka dan duka sebagai Gereja. Hal itu bisa diwujudkan dengan  pengadaan program tenaga sukarela yang dapat memungkinkan umat mengalami pewartaan dan misi di luar wilayah keuskupannya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *