Mengenal Misi Gereja di Pulau Fordata, Tanimbar, Maluku

IDNKatolik.com – PATER Hendri Geurtjens MSC suatu kali pernah betanya kepada orang-orang Fordata, Maluku Tenggara Barat (MTB), tentang asal-usul mereka. Majalah Annalen, 1919 memaparkan bahwa orang-orang Fordata menyatakan diri berasal dari Pulau Babar, Maluku Barat Daya. Ada sumber lain juga mengatakan orang-orang Fordata dahulu kala tinggal di pesisir barat Pulau Yamdena, MTB. Akan tetapi mereka melarikan diri karena gangguan lalat yang merajelala di Yamdena. Dalam pelarian itu, mereka tiba di Pulau Fordata.

Majalah Annalen, juga menyebutkan orang-orang Fordata saat ini bukan penduduk pertama. Konon, Pulau Fordata didiami orang-orang kerdil yang tinggi badannya beberapa desimeter saja. Kampung mereka terletak di puncak Bukit Vutlanit. Suatu hari datanglah orang-orang Seira, MTB dengan perahu. Mereka melihat beberapa orang kerdil yang sedang menangkap ikan. Sangkanya mereka adalah anak-anak sehingga mereka berseru, “Tolong panggil orangtua anda untuk membantu kami menarik perahu ke darat.” Tak lama kemudian, orang-orang Seira melihat segerombolan orang-orang kerdil datang dan menarik perahu sampai ke Bukit Vutlanit. Masyarakat meyakini, selokan berbentuk perahu di atas Bukit Vutlanit saat ini adalah bukti kehebatan masyarakat pertama di Pulau Fordata.

Sayang, bangsa perkasa itu telah musnah karena wabah cacar. Dalam perkembangan, “negeri orang kerdil” itu mengalami perkembangan pesat. Salah satu perkembangan yang bisa dirasakan adalah keterbukaan menerima Gereja Katolik. Sejarah mencatat, dua kampung yang pantas disebutkan sebagai saksi iman adalah Desa Awear dan Desa Sofyanin.

Pastor Petrus Drabbe MSC

Lahan Subur

Dalam Buku “Restorasl Misi Katolik di Kepulauan Tanimbar 1888-1994”, Mgr Andreas Peter Cornelius Sol MSC menulis bahwa sekitar tahun 1914-1915, para misionaris telah tiba di dua desa tersebut. Karena itu, selama tahun 1916, dua penduduk desa ini terus mengumpulkan kayu-kayu besi tanpa lelah. Kayu-kayu tersebut kelak digunakan untuk membangun rumah pastoran dan gereja. Di satu sisi kedatangan misionaris menjadi berkat bagi dua desa itu tetapi disisi lain menjadi “cambuk” mematikan bagi misi Protestan.

Maka ketika para misionaris berkarya, orang Awear dan Sofyanin sudah bangga menyebut diri Katolik. Memang sejak dikunjungi para misionaris, para penginjil dari Ambon sudah masuk di dua desa ini. Tetapi masyarakat dua desa ini sudah terlanjur mencintai Katolik.

Frits Herman Pangemanan, penulis Buku Masuknya Gereja Katolik di Awear, mengatakan dalam beberapa kali Pater Joseph Klerks MSC dan Pater Eduard Cappers MSC mengunjungi umat Katolik di dua desa ini. Karya dua imam Tarekat Misionaris Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis Iesu/MSC) atas undangan Prefek Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea yang saat itu berkedudukan di Langgur, Pater Matthias Nayyens MSC. Corak pastoral saat itu adalah mempromosikan mission extensive, “memperluas wilayah pelayanan hingga sejauh mungkin, meksi seluruh wilayah itu belum dilayani secara intensif.”

Sementara itu tua adat Awear, Hendrikus Belyaki Oratmangun berkisah. Sekitar tahun 1915, masyarakat Desa Rumyaan (Romean) yang beragama Protestan pernah meminta agar diterima menjadi Katolik. Tetapi usulan ini tak saja diterima para misionaris mengingat konsekwensi yang akan terjadi antara Katolik dan Protestan. Sebab saat itu terjadi “pastoral sikut-sikutan” antara para penginjil dari Ambon dan para misionaris.

Dalam suasana demikian, seorang tuan tanah Awear bernama Manuby memberanikan diri ke Olilit, Yamdena. Ia mengungkapkan keinginan mewakili masyarakat dua kampung ini untuk segera diutus seorang guru agama. Keberanian Manuby ini ditanggapi positif. Pater Zegers MSC lalu mengirim surat kepada Pater Klerks dan Pater Petrus Drabbe MSC agar seorang diantara mereka segera ke Fordata bersama seorang guru agama.

Awal Maret 1917, Pater Drabbe MSC menjadi misionaris pertama yang diutus untuk menetap Fordata. Ia bersama Guru Henrikus Dumatubun, ayah dari almarhum Pater Engelbertus Dumatubun MSC. Hendrikus mengakui, kedatangan Pater Drabbe membuat Orang Kaia (Kepala Desa) Romean dan Rumgevur berniat melaporkannya ke pemerintahan di Larat. Pater Drabbe dituduh mengacaukan masyarakat Fordata. “Kepala Desa Awear, Surukvutu, mengetahui maksud itu lalu memerintah supaya Pater Drabbe diantar ke Olilit,”kisah Hendrikus.

Pastor Hans Krawain memberkati umat di Stasi Sofyanin

Kendati hidup dalam bayang-bayang Protestan, iman masyarakat Awear dan Sofyanin tak pudar. Pater Drabbe berpesan agar ketika dirinya kembali maka akan dimulai pembangunan fisik. Kata Hendrikus, Janji itu semakin membuat masyarakat dua desa ini lebih bersemangat menanti kedatangan Pater Drabbe. Setelah suasana tenang, Pater Drabbe kembali ke bumi Lodar Kou, “negeri kecil”. Ia mulai mengajar anak-anak dan orang tua. Dalam waktu singkat, 50 anak perempuan dan 20 anak laki-laki siap dibaptis.

Baptisan Pertama

Di Fordata dibenarkan kata-kata St Paulus, “Saudara-saudara, berdoalah untuk kami, supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2 Tes 3:1). Agar firman itu beroleh kemajuan, Pater Drabbe bersurat kepada Pater Zegers agar segera mengirimkan seorang guru lagi. Tak lama setelah itu, guru Paulus Renjaan dari Desa Sathean, Kei Kecil, Maluku Tenggara diutus ke Fordata. Pater Henri Nollen MSC dari Langgur juga mengirim Benediktus Renjaan agar melayani sekolah Awear dan Sofyanin.

Dalam ukuran manusia seluruh Fordata bisa saja menjadi Katolik jika seandainya saat itu tenaga pastor dan guru mencukupi. Sebab hampir di setiap kampung menyatakan persetujuannya untuk menerima seorang guru. Maklumlah tiap kampung ingin memiliki sebuah sekolah dengan guru yang bisa membina anak-anak. Ketika mereka bertemu orang tua, anak-anak bercerita tentang agama, Sakramen-sakramen yang mereka terima. Dengan mudah orang tua senang dan menerima para guru-guru agama ini. Sayangnya, Prefek Apostolik di Langgur tidak dapat memenuhi kebutuhan ini karena guru dan pastor terbatas sekaligus dana untuk memberi honor para guru juga terbatas.

Kendati begitu, kehadiran Pater Drabe membuat kaum Protestan menyadari Pulau Fordata telah kecolongan. Karena ketakutan, para penginjil menjelajah pulau-pulau Tanimbar Utara dan Babar. Selama enam minggu, mereka membaptis kilat tanpa pengajaran agama. Dalam era ini, para penginjil Protestan berhasil mempengarahui Soa (klan) Walerang di Sofyanin. Akibatnya mereka memisahkan diri dari Soa Rumfaan dan Soa Rumngevur yang memilih beragama Katolik. Pada 6 Juni 1917, sebanyak 392 orang dari Soa Walerang dibaptis massal oleh Pendeta Johan Wattimena.

Antara Bulan September-Oktober 1917, Pater Drabbe dan para guru sibuk mempersiapkan baptisan. Dalam persiapan itu ditetapkan dua hari untuk pembaptisan yaitu tanggal 20-21 Oktober 1917. Dalam Buku Induk Liber Baptizatorum (LB) I Sofyanin-Awear no 456-477 dikatakan pada hari pertama Pater Drabbe membaptis 21 anak. Sedangkan hari kedua dibaptis 69 anak. Semua anak yang dibaptis berusia antara usia bayi hingga empat tahun (LB ) no478-547).

Buah-Buah Iman

Dalam buku karangan Pater Nieuwenhuis MSC berjudul, Een Kwart Eeuw Apostolaat (Karya Kerasulan Selama Seperempat Abad- 1903-1928) dikatakan sampai tahun 1910, penduduk Pulau Yamdena selalu berada dalam keadaan siap siaga perang. Pada malam hari pintu masuk kampung dijaga oleh pemuda bersenjata. Pada siang hari, pemuda-pemuda itu memakai waktu berjam-jam untuk menyisir, merias dan mengeringkan rambut mereka yang panjang. Adapun pekerjaan haria mereka adalah menyadap nira, membuat sopi (minuman keras), mencungkil kelapa dan menjemurnya, menangkap ikan, memburu babi hutan, dan kerap kali bekerja di kebun. Selebihnya waktu mereka gunakan untuk menari, dan berbicara tentang masalah perkawinan.

Gereja Stasi St. Mikhael Sofyanin

Gambaran hidup ini juga menjadi gambaran masyarakat Pulau Fordata sebelum masuknya Gereja Katolik. Kehadiran Gereja pelan-pelan mengubah pola pikir masyarakat Fordata. Tahun 2017, tepat seabad Gereja Katolik masuk Pulau Fordata. Seabad benih Katolik telah menghasilkan buah-buah iman. Salah satunya adalah kehadiran imam pribumi pertama asal Tanimbar khususnya Awear yaitu Pastor Lambertus Somar MSC.

Pastor Somar mengawali jajaran 12 imam yang berasal dari dua desa ini. Dalam refleksi memaknai 100 tahun Gereja Katolik masuk Fordata, Pastor Somar mengatakan ada berbagai hal yang membuat iman orang Awear dan Sofyanin sangat kuat. Salah satunya adalah budaya Fordata yang dekat dengan Tuhan. Masyarakat Lodar Kou mudah mengabdi pada arwah leluhur dan Ubilaa, “Tuhan yang Besar.” Rasa hormat kepada leluhur dan “pribadi lain” membuat mereka pun mudah menerima kehadiran para misionaris.

Faktanya, lanjut Pastor Somar, Pater Klerks dan Pater Cappers kemudian Pater Drabbe diterima dengan baik oleh masyarakat Awear dan Sofyanin. Kehidupan perang antar soa, potong kepala, kehadiran suanggi (black magic), pertengkaran tanah, wabah cacar dan tuberkolosis menjadi bagian tak terpisahkan dari misi para misionaris. “Para misionaris mengubah pola pikir dan penghayatan yang baik kepada masyarakat.”

Refleksi 100 tahun ini juga menjadi refleksi pastor pertama Desa Sofyanin, Pastor Gerardus Ohoduan MSC. Ia menerangkan bahwa sebad Gereja Katolik masuk Sofyanin tak lain sebagai warisan gereja yang tak ternilai. Dirinya mengakui ketertarikannya menjadi imam karena warisan misionaris yang dikecap dari orang tuanya. Lewat keteladanan orang tua, ia bisa menjadi imam yang terus melayani dengan hati. Keteladanan ini juga membuatnya setia selama 20 tahun mengabdi umat di pedalaman Papua, Keuskupan Agung Merauke. “Menjadi seperti Pater Drabbe di zaman sekarang tentu sangat berbeda. Tetapi sosok mereka memberi motivasi para imam dari Awear dan Sofyanin untuk melayani umat menuju keselamatan,” ujar imam yang ditahbiskan tahun 1998 ini.

Sementara itu, Sr Tekla Ngoranratu PBHK setuju bahwa panggilan menjadi biarawati adalah buah dari pastoral kehadiran para misionaris. Biarawati dari Desa Sofyanin ini mengatakan kisah-kisah dan panutan para misionaris secara tak langsung menyuburkan imannya. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, sosok para misionaris menjadi kekuatan tersendiri. Ia pun mengajak para kaum muda untuk berani menjadi misionaris-misionaris zaman moderen. “Semoga banyak orang muda dari dua desa ini bisa terpanggil meneruskan misi para misionaris di zaman sekarang.”

Tentu masih banyak imam, suster dan awam dari dua desa ini yang akan memberi kesaksian serupa. Tetapi pastilah Pater Drabbe dan para misionaris lainnya sudah tersenyum di surga sana. Wulan owun warat rsiganti ira naak rir varea wol tablufang, “Bulan dan tahun terus berganti tetapi perjuangan para misionaris tidak akan dilupakan.” Sebab di atas di bumi Lodar Kou, iman Katolik sudah teruji hebat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *