Gereja Perlu Merawat Taman Eden di Papua

IDNKatolik.com – Papua menjadi Taman Eden bagi setiap orang yang hidup di sana. Berhadapan dengan ketidakadilan, Gereja mengharapkan agar terus berada di Taman Eden.

 DALAM beberapa narasi historis, Papua selalu diharapkan sebagai Tanah Damai. Diibaratkan dengan seorang mama. Ada sekian banyak anak yang lahir dari rahimnya. Dalam konteks gerejawi, ada lima “anak” yang lahir dari rahim Papua. Satu demi satu dikenalinya, dibesarkan, dan dirawat hingga kini.

Anak tertua adalah Keuskupan Agung Merauke (KAMe) yang berdiri dengan status Vikariat Apostolik pada 1950. Anak kedua Keuskupan Jayapura, menjadi Vikaris Apostolik Hollandia pada 14 Juni 1954, kemudian Keuskupan Manokwari-Sorong pada 19 Desember 1959. Menyusul Keuskupan Agats-Asmat yang memisahkan diri dari KAMe pada 29 Mei 1969. Anak bungsu adalah Keuskupan Timika yang berpisah dari Keuskupan Jayapura, 19 Desember 2003.

Berdirinya sebuah keuskupan bukan soal administratif semata-mata, apalagi soal bagi-bagi kuasa. Berdirinya keuskupan menandai suatu peralihan dari Gereja misi ke Gereja partikular. Ketergantungan yang merupakan corak utama Gereja misi bergeser ke kemandirian. Paling tidak, umat Allah di daerah yang tadinya disebut tanah misi, dengan statusnya sebagai keuskupan dipacu untuk membangun dirinya menjadi umat yang kokoh imannya. Status baru sebagai keuskupan merupakan dorongan untuk mulai melangkah maju dalam lingkup sosio-budaya setempat dengan tetap dalam horizon Gereja universal.

Persoalan Sosial

Pastor Edy Kristianto, OFM, sejarahwan Gereja Katolik dalam sebuah tulisan mengatakan, dinamika Gereja di Provinsi Gerejawi Merauke, selalu diungkapkan dalam tindakan yang menyentuh. Papua disebut istimewa karena orang-orangnya selalu dipahami secara terbatas, yakni berdimensi politis. Berwacana tentang Papua acapkali disederhanakan sehingga ujung-ujungnya menjadi isu politik. Muncul perebutan pengaruh. Misal, waktu pemilihan Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM sebagai Uskup Jayapura. Sejalan dengan era reformasi, muncul euphoria dan isu dalam jabatan sipil tentang “putera daerah”. Protes berbulan-bulan kepada Mgr. Leo, bahkan hingga kini. Lima uskup Papua terus diprotes karena sejumlah kebijakan katanya tak menyentuh orang Papua.

Tantangan pastoral Gereja Papua tidak menentu. Ketidakadilan struktural yang dihadapi Papua selama puluhan tahun telah menjadikan Papua sebagai masyarakat yang menyimpan ingatan penderitaan sebangsa. Kebijakan pembangunan sentralistik hanya menghisap kekayaan alam Papua tanpa pengembangan manusianya. Belum lagi pelanggaran HAM yang bersifat represif dan militeristik masih dirasakan hingga saat ini. Ada kecenderungan identitas Papua ditabukan dan disamakan dengan gerakan separatis. Padahal kebudayaan itu bermakna luas meliputi tata kepemimpinan asli, arsitektur, filsafat hidup, sistem pendidikan, pembelajaran dalam keluarga, sampai dengan ungkapan kesenian seperti tarian, lagu, ukiran.

Persoalan-persoalan sosial ini selama 50 tahun terakhir dihadapi Gereja Papua. Misi Kerajaan Allah yang diemban Gereja berhadapan dengan teriakan minta tolong warga Papua. Lenis menilai bahwa selama ini, Gereja tidak tinggal diam. Gereja berusaha semaksimal mungkin terlibat langsung dalam setiap situasi kehidupan umat. Meski kadang para gembala tidak dianggap, selalu dilihat sebagai pendatang, tidak memahami domba gembalaannya.

Vatikan sudah membaca situasi ini. Demi menjawab keinginan masyarakat Papua terpilihlah Mgr. John Philip Saklil, uskup kelahiran Papua, beradarah Kei, Maluku. Mgr. Saklil seakan menjadi pemuas dahaga masyarakat Papua. “Hadir juga para klerus yang lain seperti Pastor Jack Mote, Pastor Nato Gobai, dan Pastor Neles Tebai. Sayangnya para mereka telah menjadi pejuang keadilan di Kerajaan Surga,”ujar Lenis sambil bertanya, masih adakah yang akan melanjutkan seruan kenabian di Papua?

Fokus Pastoral

Secara garis besar, Provinsi Gerejawi Merauke selalu berusaha menghadirkan rancangan pastoral yang lebih berdayaguna. Persoalan nyata di Keuskupan Jayapura dan Timika saat ini adalah kesadaran masyarakat akan kesehatan. Dalam Surat Gembala menjelang Paskah 2018, Mgr. Leo menulis bidang kesehatan menjadi hal yang paling mendasar. Bukan sebatas pada anjuran untuk mengubah pola perilaku. Di Timika dan Jayapura persoalan alkohol, penyalagunaan tubuh, dan seksualitas yang cepat mendatangkan HIV menjadi persoalan. Masih isu yang sama muncul penyakit Tuberkolosis.

Sementara di Keuskupan Agats-Asmat, persoalan yang dihadapi adalah suasana hidup dalam masyarakat yang belum bebas dari persoalan kegelapan. Persoalan ketidakadilan dan hilangnya spirit kejujuran dalam pelaksanaan pembangunan manusia masih dirasakan di Agats-Asmat. Praktek korupsi masih menggurita dimana-mana, tidak saja pejabat pemerintah tetapi juga instansi Gereja. Penyelenggara pendidikan di kampung-kampung terbengkalai, karena para pendidik tidak jujur.

Masih di keuskupan yang sama, lemahnya kesadaran akan kesehatan selalu berdampak buruk. Pada Desember 2017-Februari 2018, terjadi kondisi Kejadian Luar Biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat. Gereja tidak tinggal diam, Gereja terlibat bahkan menjadi corong bantuan bagi masyarakat Asmat.

Berbeda lagi di Keuskupan Manokwari-Sorong. Mgr. Hilarion Datus Lega mengatakan fokus utama keuskupan 10 tahun terakhir adalah selalu memberikan perhatian kepada pembangunan manusia dalam berelasi dengan alam semesta. Tak dipungkiri masih ada sikap puja-puji manusia kepada roh leluhur. Masih banyak tempat “objek kepercayaan” yang bersifat material nampak dalam realitas hidup mereka.

Lanjutnya, kondisi paling riil dihadapi Gereja Manokwari-Sorong mungkin juga Jayapura dan Timika adalah alam sebagai materi yang mendatangkan uang. Kini, pohon-pohon dihitung berapa kubik dan berapa keuntungannya. “Gunung ditaksir berapa kandungan tambangnya. Sungai menjadi saluran sampah. Kentara sekali persaudaraan kosmis menjadi suatu persoalan yang sangat nyata terjadi di provinsi gerejawi ini,” jelas Mgr. Datus Lega.

Menguatkan Komunitas

Meski para gembala hampir semuanya bukan putera daerah, nyatanya manajemen pastoral bukan kaleng-kaleng. Pengalaman kontak dengan masyarakat Papua telah membisikkan apa yang sesungguhnya dalam arah pastoral keuskupan. Hampir pasti di semua keuskupan, terbentuk Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Pokok ini diangkat untuk mengantar umat Katolik pada visi menjadi komunitas yang beriman.

Di setiap keuskupan, KBG hadir untuk mewujudkan Gereja yang missioner dengan mengedepankan hati yang mendengarkan. Diharapkan umat yang berhimpun dalam KBG dapat menumbuhkan semangat jiwa yang kuat dan penuh kebahagiaan.

Dari KBG ini kerja sama antarlembaga makin dikuatkan. Sekolah-sekolah kader makin menjamur di Papua. Lahirnya tempat pembinaan calon imam seperti Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur, atau juga sekolah dengan sistem asrama. Ada Asrama Katolik Mahasiswa Tauoboria, Jayapura; Asrama Katolik Vilanova Manokwari; Asrama SPG Taruna Bahkti Jayapura; Asrama Caritas di Dok 2 Jayapura; Asrama St. Donbosco di Wamena, dan sebagainya.

Bidang karya pastoral pendidikan dan kesehatan menjadi fokus utama. Belum lagi kerja sama internal di bidang transportasi dengan menghadirkan Assosiation Mission Aviaton (AMA). Penyediaan pesawat untuk melayani masyarakat terluar dengan menjemput dan mengantar pasien yang sakit untuk dirujuk ke rumah sakit di kota. “Jika mau hitung-hitung AMA mengalami kerugian karena banyak wilayah pedalaman yang jangkauannya sulit,” sebut Direktur AMA Papua Djarot Soetanto.

Demi menguatkan ketrampilan umat, berdirinya sekolah pertanian, peternakan, dan pertukangan. Misal di Merauke berdirinya Sekolah SMA Enterpreneurship Chevalier Anasai untuk melatih kemandirian anak-anak yang datang dari Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat.

Taman Eden

Pada akhirnya, Gereja tidak pernah diam. Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian KAMe, Pastor Anselmus Amo, MSC menambahkan Gereja selalu berusaha terlibat menyuarakan keadilan bagi masyarakat yang tertindas. Dalam arti ini, Gereja ingin Papua menjadi negeri damai dan penuh ketenangan.

Mengutip teks Perjanjian Lama, Pastor Amo mengatakan, berkali-kali dalam Kitab Kejadian disebutkan bahwa…” yang diciptakan itu baik dan khusus untuk manusia sungguh amat baik” (Kej. 1:4). Keadaan damai ini merupakan pemberian gratis dari Allah kepada negeri Papua. Tetapi Allah memberikan dua syarat: mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2:15) dan mewujudkan situasi ideal itu berdasarkan keinginan Allah sendiri. “Situasi ideal itu adalah taat pada kehendak Allah. Taman Eden sudah tumbuh di Papua, tugas kita merawat taman itu agar setiap orang yang berada di dalamnya mengalami sukacita,” demikian Pastor Amo.

Rm. Ibrani GujanggeTimika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *