Fratelli Tutti Berbasis Kearifan Lokal bagi Indonesia

Fratelli Tutti

IDNKatolik.com – SUATU hari, beberapa mahasiswa-mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bertandang ke rumah formasi Jesuit, di Jalan Kramat VII, Jakarta Pusat. Mereka mengunjungi kawan sekampus mereka, Pastor Gregorius Soetomo, SJ yang tinggal bersama para Frater Skolastikat Serikat Yesus. Mereka berbincang dan di sela percakapan, sejurus seorang mahasiswi berhijab bertanya, “Pastor, lha ini nyonya di mana?”

Dengan senyum tersipu, Pastor Greg, menjelaskan bahwa seorang imam dalam Gereja Katolik mengikrarkan hidup selibat, tidak menikah. Rona para mahasiswa itu terlihat bertanya-tanya. Karena mendalami Islam, Pastor Greg lantas bercerita tentang beberapa tokoh Islam ternama dalam sejarah yang juga hidup wadat, seperti Rabiah al-Adawiyah (713-801) dan Ibnu Taimiyah (1263-1328). “Karena cintaku kepada Allah, maka aku tidak bisa menikah,” kisahnya mengutip ungkapan Taimiyah, sufi asal Kota Harran, Turki.

Di tempat berbeda, Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, ada keluarga yang memiliki kisah unik. Dari empat anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, semuanya berbedaagama. Mikhael Luturyali sebagai bapak keluarga beragama Katolik, isterinya Nenik Unaputy beragama Islam,sedangkan puterasulungnya beragama Protestan, dan anak bungu mereka mengikuti sang isteri beragama Budha.

Saat dihubungi, Mikhael mengatakanprinsip beragama dalam keluarganya bukan atas dasar keturunan, tetapi berdasarkan kehendak bebas. Walaupun berbeda dalam iman, tetapi keluarga saling mendukung. “Toleransi dalam keluarga sangat kuat. Kami tidak masalah dengan perbedaan,” kata Mikhael, “sebab kami hidup rukun”.

Memahami Perbedaan

Dorongan untuk belajar dunia Islam oleh Pastor Greg, atau kebebasan memilih masing-masing agama dalam keluarga Mikhael,adalah wujud konkret dari pesan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Fratelli Tutti (Saudara Semua). Dua kisah ini, terekam dalam “ensiklik sosial” yang bertujuan mempromosikan aspirasi universal menuju persaudaraan dan persahabatan sosial.

Paus menekankan bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, anak dari satu Pencipta, berada dalam satu perahu yang sama. Dunia yang adil dicapai dengan mempromosikan perdamaian, yang bukan hanya sekadar tidak ada perang, tetapi menuntut keterlibatan semua orang.

Di Indonesia, seruan Paus ini sudah mendarah daging dalam kearifan lokal. Konsep kebebasan, keadilan, musyawarah, hingga kepedulian sosial, telah menyatu dalam Dasar Negara, Pancasila. Ada begitu banyak nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal. Meskipun hidup dalam perbedaan, tapi disatukan dalam semboyan Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, berbeda-beda tetapi satu, tak ada kerancuan dalam kebenaran.

Jauh sebelum promulgasi Fratelli Tutti,Indonesia sudah menjadi lahan subur untuk bertumbuhnya persaudaraan, menancapnya arti sesama. Sebuah negara yang sangat ideal, wajah dunia yang dikehendaki Allah, berlatar ragam budaya, suku, etnis, dan agama.

Prinsip Pemersatu

Melihat Fratelli Tutti dalam kerangka kearifan lokal, kita bisa menyebutkan beberapa wujud persaudaraan di Nusantara. Di Maluku, istilah sesamaku, dipahami dalam semboyan pela gandong. Secara etimologi, pela berarti ikatan persatuan,sementara gandong artinya saudara. Sebutan ini untuk mengingatkan masyarakat Maluku bahwa katong basudara (kita bersaudara.

Titik tolak dan spirit dasar Fratelli Tutti ialah persaudaraan universal: segenap makhluk adalah saudara dan saudari, memiliki perasaan yang sama. Istilah ini dikonkretkan dalam budaya orang Maluku terekam dalam semboyan, iris di kuku rasa di daging. Sesuai pesan Kristus,“Karena jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita” (1 Kor. 12: 26).

Di Fakfak, Papua Barat, persaudaraan dan kebersamaan sosial dalam Fratelli Tutti nampak dalam ungkapan “tiga batu satu tungku”. Ungkapan ini menggambarkan prinsip hidup warga Papua dalam menjaga keseimbangan dan kebersamaan hidup, meski dalam perbedaan.“Tungku” merujuk pada konsep kebersamaan, toleransi, dan harmoni. Sementara “tiga batu” menjadi simbol tiga agama yang banyak dipeluk warga di sana, yakni Islam, Kristen, dan Katolik. “Hal ini disimbolkan dengan tiga rumah ibadah besar, yaitu Gereja St. Yoseph, Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia, yang berdiri berdampingan,” ujar budayawan Papua Samuel Gujange dalam pesan singkatnya.

Sama halnya di Suku Batak yang familiardengan falsafah boraspati (cecak). Falsafah ini dipetik dari pelajaran cecak; dalam kondisi atau posisi seperti apapun entah di bawah, atas, atau samping, cecak selalu menempel dengan habitatnya.

Dalam sebuah tulisan, “Inkulutrasi Teologi dalam Budaya Batak, Administrator Apostolik Sibolga Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFM Cap mengatakan, falsafah hidup ini kemudian dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan yang disebut Dalihan na Tolu(tungku yang tiga). Tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris kokoh yang menopang periuk nasi. Tiga tungku ini saling mendukung dan merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam kekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagai tubu (teman semarga), tungku kedua disimbolkan hula-hula (jalur keluarga pihak istri), dan tungku ketiga disimbolkan dengan boru (pihak yang menikahi anak perempuan).

Sementara keberagaman dalam budaya Minahasa terkenal dengan ungkapan Si Tou Timou Tumou Tou. Budayawan Minahasa, Pastor Paul Richard Renwarin mengungkapkan, ungkapan ini terdiri dari dua kalimat; Si Tou Timou dan Tumou TouSi Tou berarti manusia Minahasa yang bertanggung jawab terhadap tanah adat. Timou artinya tumbuh dan berkembang. “Konsep ini menunjukkan bahwa manusia hidup untuk memanusiakan orang lain,” ujar Pastor Cardo, sapaannya.

Turunan dari istilah ini melahirkan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara). Pesan ini sejalan dengan harapan Paus, manusiaperlu mengupayakan keselamatan sebagai satu persaudaraaan, bukan sebagai individu. “Indah rasanya bersolider sebagai saudara. Covid-19 membuka topeng egoisme, dan menyingkap kenyataan bahwa kita telah mengabaikan harta bersama yang paling berharga, yaitu menjadi saudara,” tulis Paus.

Di masyarakat Dayak, hidup bersama dalam perbedaan mewujud dalam Huma Betang (rumah panjang). Mereka hidup bersama sebagai keluarga besar dalam satu atap. Di rumah adat ini, masyarakat Dayak selalu berikrar untuk tetap menjaga kebersamaan.

Di masyarakat Jawa yang mendamba hidup ayem tentrem. Mereka mengenggam ungkapan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, (rukun membuat sentosa atau kokoh, bertengkar membuat rusak atau menimbulkan kehancuran). Tak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan sambil duduk bersama. Musyawarah dengan kepala dingin dapat menyelesaikan konflik.

Panggilan Semua Orang

Kristalisasi prinsip pemersatu dalam budaya bangsadipadukan dengan seruan Paus telah menjadi “seni perjumpaan” di tengah keberagaman bangsa. Perjumpaan ini tidak cuma dengan kaum berada, bahkan juga dengan dunia pinggiran dan dengan masyarakat asli. Dalam kekayaan lokal itu, Paus mengharapkan manusia saling belajar. Dengan begitu hidup manusia bisa terhindar dari distorsi di era kontemporer yang makin mendunia.

Kearifan lokal sebagai lahan bertumbuhnya komunitas persaudaraan semesta, harus menjadi ruang perjumpaan yang terbuka antar sesama. Bukan sesuatu yang baru bagi bangsa ini untuk menjunjung tinggi persaudaraan dalamFratelli Tutti.Sejak berabad-abad, anak-anak bangsa telah diikat oleh norma agama yang bersumber dari Tuhan, norma kesusilaan yang bersumber dari hati nurani, norma masyarakat yang bersumber dari lingkungan sekitar, dan norma hukum yang pemberlakuannya dapat dipaksa.

Setiap agama, suku, bahasa, ras membina masyarakat dimulai dari hati nurani. Menanamkan benih kecintaan di dalam lubuk hati dengan melihat sesama sebagai saudara dan sahabat seperjalanan di bawah naungan Tuhan Yang Maha Esa. Maka seharusnya perbedaan bukan alasan meniadakan cinta.

Penerima Beasiswa Nostra Aetate, Dewi Praswida menambahkan, Fratelli Tutti adalah bentuk kepekaan Paus Fransiskus secara khusus dan Gereja Katolik secara umum terhadap degradasi kerukunan tidak hanya antarumat beragama tetapi juga antar sesama manusia. “Dengan adanya dokumen ini, dapat semakin memotivasi kita untuk terus saling akur dan hidup dalam harmoni bersama dengan seluru ciptaan-Nya,” harap wanita berhijab ini mengutip pernyataan Paus Fransiskus di Twitter-nya: Those who respect God, Respect human beings.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *