Politik Katolik: Politik Kebaikan Bersama Menuju Kemandirian Bangsa

IDNKatolik.comSEPANJANG sejarah Republik Indonesia, pertanyaan-pertanyaan seperti apakah peranan umat Katolik di Indoneis dalam bidang politik dan bagaimana mereka melibatkan diri dalam perjuangan bangsa memiliki intensi yang serius? Apa urgensinya kalangan Katolik yang notabene minoritas secara kuantitatif terlibat dalam dunia politik? Apa yang secara fundamental perlu dilakukan kalangan Katolik untuk mendorong bangsa ini ke suatu masa depan yang adil dan sejahtera?

Litani pertanyaan keterlibatan orang Katolik di Politik kiranya berangkat dari refleksi alasan menempatkan politik sebagai bagian penting pergulatan hidup seorang warga negara, termasuk orang Katolik. Pertama, partisipasi dalam politik memang penting karena menjadi medium ekspresi diri. Politik menjadi medan memperjuangkan berbagai ide dan nilai-nilai oleh individu atau kelompok dipandang penting demi kemanusiaan. Kedua, di dalam politik berbagai kebijakan publik, hukum, dan perundang-undangan memainkan peranan penting sebagai arah bagi kehidupan manusia. Keterlibatan dalam politik menjadi penting persis seperti karena dengan cara itu warga negara mendapat peluang untuk ikut memengaruhi dan mengarahkan kebijakan-kebijakan publik. Bersikap a-politis berarti membiarkan diri ditentukan secara sepihak oleh orang lain. Ketiga, Gereja sebagai lembaga dan negara tidak dapat hidup dalam isolasi absolut satu sama lain. Kendati bersifat superior, Gereja tetap berada dalam negara. Maka apa yang dilakukan Gereja, suka atau tidak suka, berpengaruh langsung pada bangsa dan negara. Nilai-nilai Katolik dipandang penting bagi kemanusiaan maka keterlibata di politik menjadi urgen.

Apapun medium keterlibatan politik, seorang Katolik hendaknya tidak alergi terhadap politik. Kesadaran bahwa orang Katolik tidak ingin jadi free riders sangat terasa pada 100 tahun Pekapalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Berkaca pada sejarah, medio Agustus 1945, Jepang dipaksa bertekuk lutuh dan dilucuti oleh pasukan Inggris, terbuka peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk membentuk partai-partai politik, termasuk kalangan Katolik. Memanfaatkan momentum itu, kalangan Katolik tanggal 8 Desember 1945 mendirikan Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang merupakan kelanjutan dari Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI). Sedangkan PPKI sendiri sesunggunya merupakan hasil metamorfosa dari beberapa perkumpulan berasas Katolik baik yang budaya Jawa yaitu Pakepalan Politik Katolik Djawa (PPKD) yang didirikan oleh sekitar 30 pemuda Katolik bekas siswa Keweekschool Muntilan tanggal 5 Agustus 1923. Tahun 1925, organisasi politik yang diketuai oleh F.S Harjadi dan dibantu oleh I.J Kasimo sebagai sekretaris serta R.M. Jacob Soejadi sebagai bendahara ini berganti nama menjadi Perkumpulan Politik Katolik Jawa (The Catholic Political Organization of Java). Sedangkan jauh sebelumnya di berbagai tempat seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya dan sebagainya sudah ada federasi politik Katolik yang disebut Indisch Katholieke Partij (IKP). Ketika Belanda tahun 1946-1948 kembali berusaha menanamkan kekuasaannya dengan memecah republik ini menjadi belasan negara kecil tidak berdaulat, umat Katolik tidak tinggal diam dengan berusaha memperkuat diri untuk ikut serta dalam memperjuangkan diri mempertahankan kemerdekaan bangsa. Bermunculan berbagai perhimpunan Katolik di daerah antara lain Permusyawaratan Majelis Katolik (Pemakat) di Minahasa; Partai Katolik Indonesia Timor (Parkit); Persatuan Politik Katolik Flores (Perpokaf); Partai Katolik Rakyat Indonesia di Makassar; dan Partai Katolik Indonesia Kalimantan. Setelah semua itu, Belanda menyerah.

Kasimo dalam sambutan memperingati berdirinya PKRI ke-40 menegaskan asas dan tujuan partai Katolik ini antara lain: Partai ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bertindak menurut asas-asas Katolik; demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan bangsa. Maka jelas sejak awal baik, kalangan Katolik tidak ingin menjadi penonton pasif. Orientasi dan tujuan akhir perjuangan mereka sangat jelas “bekerja sekuat-kuatnya demi memperkembangkan kemajuan Republik Indonesia. Kecil dari segi jumlah, kalangan Katolik tidak menjadi “pembonceng gratis”. Nyatanya, keterlibatan mereka tidak saja dalam bidang politik, dalam lingkungan militer. Kelompok Katolik menorehkan tinta emas dalam sejarah perjuangan membela kemerdekaan. Kalangan religius bahkan tidak ragu-ragu melibatkan diri secara langsung dalam perjuangan membela dan membangun bangsa. Pantas disebut Romo Frans Van Lith, SJ, inspirator gerakan awam Katolik awal abad 20.

Mempelajari perjalanan keterlibatan kelompok Katolik dalam sejarah perjuangan bangsa, beberapa nilai penting yang layak dicatat: Pertama, sejak awal perjuangan gerakan politik secara sadar diarahkan ke luar dirinya dengan menjadikan bonum commune sebagai tujuan tertinggi kegiatan politik Katolik. Salus populi supreme lex (kesejahteraan bersama adalah hukum tertinggi) dipegang oleh I.J Kasimo dan para pegiat politik Katolik. Mereka meyakini bahwa kekatolikan seorang Katolik dibangun tidak dengan membangun diri sendiri, melainkan dengan membangun sesama. Orientasi dan watak politik inklusif-altruis  seperti ini tampaknya menjadi nilai sekaligus alasan mengapa perjalanan sejarah politik di Tanah Air tidak pernah sepi dari keterlibatan langsung orang Katolik dalam lingkaran kekausaan. Kedua, Ada kesadaran kaum muda saat itu bahwa kedewasaan sebagai pemeluk Katolik seakan tidak cukup berarti tanpa keterlibatan serta komitmen membangun bangsa. Meminjam kata bijak Mgr. Soegijaprata, “menjadi 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Ketiga, orientasi perjuangan yang dilakukan Gereja saat itu oleh Romo van Lith berfokus pada kaum lemah, tertindas, dan terpinggirkan. Penghormatan kepada martabat manusia adalah keharusan. Solidaritas sosial, keadilan dan kebenaran menjadikan politik Katolik disegani. Ketika memilih politisi Katolik, harus memilih yang berpihak pada kaum yang paling tidak beruntung.

Sayangnya perlu dicatat, era emas ini sudah luntur. Bangsa ini mengalami semacam “euforia pembebasan” menuju masa depan Indonesia yang maju. Selepas era perjuangan, iklim politik ditandai terutama dengan berbagai politik. Sebagian partai bernafaskan keagamaan, sementara lain mengklain diri berkarater nasionalis kebangsaan. Euforia ini juga ditandai dengan perlombaan penguatan identitas komunal. Ada tuntutan pada politik modern ini untuk mendapatkan pengakuan diri dan identitas kelompok menjadi sangat kuat. Asas partai politik mulai dipersoalkan. Pancasila sebagai asas partai politik cenderung digugat. Tidak heran pertikaian dan konflik sosial sering terjadi dan hampit tidak terhindarkan. Yang menyedihkan, tidak jarang agama dijadikan tameng penguatan diri. Klaim kebenaran yang didorong oleh fanatisme picik pada akhirnya mempertegas jurang antara “kami’ dan “mereka”. Toleransi dan sikap menghargai cenderung meluntur tergerus arus komunalisme dan primordialisme sempit. Padahal sejatinya politik identitas diikuti dengan kesadaran dan kearifan untuk menerima pluralisme.

Kini, krisis kehidupan politik semakin menjadi ancaman bagi cita-cita dan tujuan bangsa karena negara tampaknya terlalu lemah dalam menegakan tertib sosial. Banyak partai politik menjadi “preman” berkedok organisasi dengan visi-misi yang manis. Negara seakan tidak mampu menekan kebrutalan warga negara. Tidak heran kalau premanisme terorgainisasi masih terus terjadi di negeri kaum beragama. Sikap membiarkan ini membuat banyak orang kecewa pada negara, sekaligus antipasti terhadap politik. Demikian jelas bangsa ini tidak mampu belajar dari kearifan “bapak-bapak” bangsa nya sendiri. Bagi kalangan Katolik, kewajiban membela Pancasila seharusnya tidak lagi menjadi pertanyaan. Karena sebagai hasil konsensus bangsa, Pancasila memuat nilai-nilai universal. Orang Katolik sudah selesai dengan hal ini karena nilai-nilai kemanusiaan universal menjadi roh perjuangan politik Katolik. Orang Katolik tidak mengenal putus asa dalam mebangun sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak dasar segenap warga negara. Tugas the prophets of people adalah membantu negara melakukan pembaruan-pembaruan mendasar untuk selanjutnya melakukan transformasi sosial-politik demi terciptanya Indonesia Maju.

Keyakinan bahwa tokoh-tokoh Katolik dan masyarakat Katolik dapat memberikan backing yang kuat bagi pertumbuhan bangsa patut diapresiasi. Rel estafet politik akhir-akhir ini melenceng dari jalur, maka butuh keterlibatan orang Katolik. Kita harus hadir membantu rakyat agar kedaulatan mereka tidak dimanipulasi para elite, melalui lembaga-lembaga politik dan perwakilan, dijadikan ajang dan medan pertarungan kepentingan pribadi dan partai. Berdasarkan realitas ini, Pemuda Katolik yang lahir dari benih politik yang menentang totaliterisme yang merongrong bangsa merasa perlu meningkatkan kembali cakrawala berpikir anak bangsa akan peran politik Katolik di Indonesia. Karena politik adalah suatu panggilan, maka hendaknya panggilan itu mengarah pada kebaikan bersama. Menandaskan pentingya politik, baiknya politk adalah “Sakramen ke-8” Gereja di mana menjadi medan perutusan orang-orang Katolik (Bdk. Gaudium et Spess, 75). YHW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *