Provinsi Gerejawi Makassar: Menjadi Ibu Bagi Misi Katolik di Nusantara

IDNkatolik.com – Provinsi Gerejawi Makassar dibentuk bersamaan dengan provinsi gerejawi yang lainnya. Tetapi menjadi provinsi istimewa karena misi Gereja Katolik Nusantara berangkat dari wilayah ini.

SEPERTI halnya proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak secara langsung menghasilkan satu Nusantara, satu Bangsa, satu Bahasa, demikian pula pemakluman hierarki yang mandiri di Indonesia. Tahun 1961 pendirian hierarki, tidak dengan sendirinya membuahkan satu Gereja Indonesia nasional.

Didirikannya hierarki oleh Roma dimaksudkan sebagai pemantapan kepemimpinan gerejawi. Umat dapat disatukan bila ada hierarki yaitu uskup. Maksud ini tampak bagus, tetapi praktiknya semua ordinaris Indonesia sejak tahun 1945-1961 baru dua kali bersidang (1955 dan 1960). Sedangkan dari pihak Roma, ada keharusan supaya ordinaris Indonesia memiliki “kebijakan gerejawi nasional”.

Hanya saja 25 ordinaris yang terdiri dari enam provinsi gerejawi dan 19 vikariat saat itu begitu berjauhan secara geografis, dengan ragam persoalan. Ditambah lagi kesadaran bahwa ordinaris merasa konsili lebih menyatukan ketimbang sidang uskup lima tahunan. Saat itu, ada 21 ordinaris dipimpin uskup Belanda dan satu (Keuskupan Padang) dipimpin uskup berkebangsaan Italia Mgr. Pasquale de Martino SX.

Situasi demikian terasa sekali di Provinsi Gerejawi Makassar yang saat itu membawahi dua vikariat (sufragan) yaitu Keuskupan Manado yang digembalakan Mgr. Nicolaas Verhoeven MSC (1947-1969) dan Keuskupan Amboina oleh Mgr. Jacobus Grent MSC (1947-1965).

 Pancasila dan Konsili

Dalam buku “Indonesianisasi”, Pastor Huub, J. W. Boelaars, OFMCap menulis bahwa ditinjau dari sudut pastoral, dua ordinaris sufragan bersama Uskup Metropolit Mgr. Nicolas Martinus Scheniders CICM punya upaya untuk saling mempererat hubungan. Ada kesadaran bahwa kesatuan dalam episkopat merupakan unsur terpenting dalam proses pembentukan Gereja setempat dalam satu regio sosio-budaya. Hal ini sejalan dengan seruan Konsili Vatikan II (KV II), Dekrit Ad Gentes, terkait kegiatan misioner gereja.

Dari sudut gerejawi selama periode sebelum konsili, di provinsi gerejawi ini, masih banyak umat yang tinggal di pulau-pulau daerah misi terpencil. Gereja berusaha memperluas kawasan pelayanan bidang regional. Tujuannya agar ada satu garis komando jelas dalam menyelesaikan persoalan yang muncul. Sebab pada kenyataannya tak bisa dihindarkan faktor politik negara sejalan dengan tujuan di atas. Pertentangan-pertentangan politik sendiri berimbas pada situasi pastoral di Provinsi Gerejawi Makassar.

Sebenarnya dari pihak Gereja didirikannya hierarki lebih erat kaitannya dengan visi Pancasila. Problemnya adalah kewarganegaraan para ordinaris. Provinsi Gerejawi Makassar di bidang gerejawi dinyatakan mandiri tetapi tiga ordinarisnya non pribumi, berwarganegara Belanda. Bahkan dari 25 keuskupan, hanya tiga yang dipimpin ordinaris Indonesia yakni Keuskupan Metropolit Semarang, Jakarta, dan Ende.

Meski begitu, umat Katolik Indonesia terus menampilkan citranya dengan jelas di bidang politik di tengah anggapan-anggapan yang berlawanan dengan landasan masyarakat, yaitu Pancasila. Di Sulawesi Selatan umat Katolik sudah lama menderita akibat Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar. Pastor Harrie Vesterden CICM disekap di pedalaman dari tahun 1956- 1965.

Ketika kejadian-kejadian dramatis pada tahun-tahun sesudah itu, Mgr. Scheniders bersama para uskup lain tengah mengikuti sidang akhir KV II (1962-1965). Tak seorangpun yang mengetahui apa yang sedang terjadi di tingkat nasional atau regional. Sebuah keuntungan juga karena mereka luput dari bencana. Dikatakan ditemukan daftar nama-nama imam dan uskup serta tokoh Katolik yang sebenarnya harus dibunuh seadainya kudeta ekstremis ini berhasil.

Angin Pembaharuan

Sejumlah pembaharuan di bidang teologi dan pastoral di KV II menjadi butir penentu masa depan Gereja. Pengganti Mgr. Verhoeven di Manado dilanjutkan Mgr. Thedorus Hubertus Moors MSC. Di Amboina, Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol MSC meneruskan tugas Mgr. Grent pada 15 Januari 1965.

Perubahan ini mendatangkan sejumlah program pengembangan sejalan dengan periode pembangunan negara. Paroki-paroki mulai ditata dengan arah baru menggereja. Sturuktur kepemimpinan paroki dari sistem sentralisasi pastor paroki mulai dibantu guru jemaat, kepala pembangunan, dengan struktur dewan paroki. Wilayah suatu paroki mulai diatur dengan kelompok umat yang relative kecil.

Pada awal bertugas, Mgr. Moors memindahkan rumah kediaman uskup dari Tomohon ke Manado yang menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Sebelumnya di Maluku khususnya Langgur, atas sugesti Mgr. Grent, pimpinan Gereja di Roma memberi izin untuk memindahkan pusat keuskupan dari Langgur ke Ambon tahun 1947. Katedral di Langgur dihibur dengan menggelarinya “co-katedral”. Alasannya hanya strategis: Ambon pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusta perkapalan dan segera akan menjadi pusat penerbangan. Sedangkan Langgur masih berstatus “belakang tanah”, walaupun mungkin 90% umat Katolik waktu itu.

Di Makassar dan Manado, masing-masing paroki mulai bersaing membangun gedung gerejanya dengan pola mapalus (kerja sama). Muncul juga gerakan amal mengumpulkan dana lewat kegiatan seni. Sejalan dengan ini, bidang pendidikan mendapat perhatian khusus di masa itu. Banyak sekolah berbasis paroki mulai bermunculan bahkan sekolah pertanian di Makale (Toraja) dan sekolah perawatan di Pare-pare. Tak lupa berdirinya rumah pembinaan calon imam.

Daerah-daerah diaspora juga tak luput dari perhatian. Di Minahasa Selatan sampai di Luwuk-Banggai, Beteleme, Poso, Palu dan Toli-toli, termasuk Sangir-Talaud. Pastor H. Haripranata SJ dalam buku, “Cerita Sejarah Gereja Katolik di Kei (1888-1920), Tanimbar dan Irian Barat”, di Maluku bahkan sudah mencangkup daerah-daerah Maluku Tenggara: Saumlaki, Larat, dan Fordata. Di Maluku Utara seperti Sanana, Kao, Tobelo hingga wilayah Seram-Buru seperti Bula, Namlea, Masohi, dan Waisarissa.

Persamaan Misi

Usulan untuk pemekaran wilayah gerejawi diawali oleh Vikaris Apostolik Emeritus Batavia Mgr. Petrus Vrancken (1847-1874). Mgr. Vrancken pernah mengusulkan perlunya pemekaran wilayah gerejawi menjadi empat: Pulau Jawa, Flores dan Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Namun usaha tersebut tidak mendapat respon Roma. Ternyata soal pemekaran itu justru datang sendiri dari Roma lewat Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen SJ. Ketetapan tersebut sedikit banyak berkaitan dengan peranan Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) yang lebih dahulu bermisi di wilayah Papua New Guinea.

Bisa disimpulkan, berkat Tarekat MSC, Vikariat Apostolik Batavia yang luasnya sama dengan negara Indonesia kini mulai pembagiannya. Pemekaran wilayah Prefektur Celebes (Sulawesi) tahun 1919 masuk pemekaran kedua setelah pemekaran pertama tahun 1902 yaitu Prefektur Apostolik Nederlandsch Niew Guinea dengan pusatnya di Langgur.

Hanya saja Makassar akhirnya menjadi metropolit. Bukankah Amboina lebih berhak menjadi “sulung” bagi misi ini? Perang Dunia II mengubah wajah Makassar. Nasionalisasi orang asing dengan sejumlah perusahaan menjadikannya kembali kota provinsi. Warga baru mulai berdatangan antara tahun 1830-1961. Julukan Ujung Pandang (jumpa-pandang) disamatkan kepadanya. Dalam perjumpaan ragam etnis itu, Makassar mengalami perkembangan pesat baik secara administratif, demografi, ekonomi, pariwisata, termasuk bidang pemerintahan.

Jauh sebelumnya, Propaganda Fide tanggal 22 Desember 1902 memisahkan wilayah Maluku dan Papua dari Vikariat Batavia dan didirikan sebagai daerah otonom. Pelayanan prefektur ini diserahkan kepada Tarekat MSC Provinsi Perancis. Di tahun yang sama pendirian Vikariat Apostolik Nieuw Guinea itu, di Celebes tiga trio MSC mendarat tanggal 2 September 1920. Tetapi dekrit penetapan untuk memisahkan Prefektur Apostolik Celebes dari Vikariat Apostolik Batavia sudah dikeluarkan Paus Benedictus XV tanggal 19 November 1919.

Dalam buku, “Sejarah Gereja Katolik Maluku”, Obor, 2009 disebutkan dalam proses menuju perkembangan, masih ada satu peristiwa yang sungguh relevan dalam tahap peralihan. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam struktur kewenangan setiap keuskupan. Adanya peralihan dari ius commissionis (daerah tertentu dipercayakan kepada yurisdiksi kongregasi atau tarekat) kepada situasi baru mandatum uskup. Ada peralihan dari tarekat kepada kewenangan uskup pada kenyataannya menjadi satu-satunya penanggung jawab utama dalam keuskupan.

Namun apakah situasi ini telah berubah? Nyatanya, di Ambon dan Manado Tarekat MSC menjadi “ibu” pelayanan. Di sejumlah paroki dua keuskupan ini masih dilayani Tarekat MSC di periode tahun 2000-an, baru di Keuskupan Manado selain MSC ada Imam Karmelit Tak Berkasut (OCD) dan Ordo Fratrum Minorum Conventual (OFM.Cov). Di Keuskupan Amboina ada imam MSC dan imam Serikat Sabda Allah (SVD), itupun diberi satu paroki yaitu di Masohi. Di Keuskupan Agung Makassar selain MSC masih ada Tarekat Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria (CICM).

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *