Gebrakan Lutheran dan Spiritualitas Keugaharian Gereja Katolik

IDNKatolik.com – JAJAK-jajak pendapat menunjukkan Swedia merupakan salah satu negara paling sekuler di dunia. Dalam survei WIN-Gallup tahun lalu, sekitar delapan dari 10 orang Swedia mengatakan mereka “tidak religius” atau yakin sebagai ateis. Survei-survei menunjukkan rakyat Swedia lebih mempercayai lembaga-lembaga seperti badan pajak daripada Gereja Lutheran. Bahkan sebuah tempat pemakaman ateis dibuka tahun ini, di mana warga Swedia dapat dikubur tanpa simbol-simbol agama seperti salib, bintang Daud atau bulan sabit.

“Bagi masyarakat Swedia, mungkin lebih mudah mengaku gay daripada mengaku memiliki agama,” ujar Antje Jackelen, Uskup Agung Lutheran Uppsala sekaligus Uskup Agung perempuan pertama di Swedia. Uskup Jackelen menambahkan ini menjadi trend di seluruh kawasan Nordik. Pada Agustus 2016 lalu, sedikitnya 25 ribu orang menyatakan diri tidak beragama.

Maka ketika Paus Fransiskus berkunjung ke Swedia, Oktober 2016 lalu, banyak tokoh berpandangan ia akan menghadapi penerimaan yang jaul lebih senyap. Bukan saja soal keimanan mereka tetapi kehadiran Paus dianggap sebagai perayaan pemberontakan Martin Luther. Tetapi banyak pula orang berpendapat kehadiran Sri Paus bak angin segar bagi relasi Katolik-Lutheran. Kehadiran Bapa Suci di negara Nordik, Skandinavia, Eropa Utara ini membawa misi rekonsiliasi antara Katolik dan Lutheran.

Upaya Paus untuk berdialog dengan jemaat Lutheran mungkin tidak akan dikritik oleh masyarakat Skandinavia karena kehadirannya dianggap “penyembuhan kenangan” yang dianggap sebagai dimensi penting membangun perdamaian Gereja-gereja. Ada anggapan ini bukan perayaan pemberontakan Martin Luther tetapi Perayaan Pengampunan Katolik dan Lutheran. Ada sukacita bahwa hubungan telah membaik dalam lima dekade terakhir.

Dalam kunjungan kepausan pertama ke Swedia setelah hampir 30 tahun, Paus Fransiskus berpartisipasi dalam Misa oikumene Katolik-Lutheran di Lund untuk menandai 500 tahun Reformasi anti-Katolik Martin Luther, yang telah menimbulkan perpecahan berdarah di Eropa. Di hadapan jemaat Lutheran, Bapa Suci mengeluarkan permintaan maaf atas kekhilafan Gereja Katolik terhadap jemaat Kristen. “Saya meminta pengampunan bagi perilaku yang tidak injili oleh umat Katolik terhadap saudara-saudara Kristen,” ungkap Paus seperti dilansir Radio Vatikan, (9/9/2016).

Gebrakan Luther

Luther adalah produk kekristenan Roma Katolik Abad Pertengahan. Ia lahir di Eisleben, Jerman, 10 November 1483. Ia anak pertama dari 7 bersaudara. Ayahnya seorang petani yang mandiri, hemat dan pekerja keras. Ketika usia Luther menginjak remaja, orangtuanya semakin makmur karena usaha pandai besinya. Suasana dalam keluarga sangat religius. Sama seperti kebanyakan petani Jerman pada waktu itu. Luther muda dididik dalam penghayatan takut kepada Tuhan, percaya kepada surga, neraka, malaikat, orang kudus, setan-setan, dan roh jahat.

Pada umur 7 tahun ia mulai bersekolah hingga mencapai jenjang Perguruan Tinggi. Secara fisik ia sehat dan kuat. Secara intelektual ia sangat cerdas. Materi pelajaran yang ia terima ialah adat kebiasaan Abad Pertengahan. Ia sangat sedikit diajari humanisme. Kemudian ia belajar di universitas Jerman yang terkenal, Erfurt, dan diajari teologi skolastik William Ockam yang merupakan aliran filsafat paling top waktu itu. Marthin Luther yang dididik dalam teologi Ockhamisme mendapat gambaran tentang Tuhan yang Mahakuasa dan manusia yang tidak berdaya di hadapan-Nya. Manusia hanyalah mahluk kecil dan fana yang sama sekali tergantung dari kekuasaan Tuhan yang dapat bertindak sekehendak hati-Nya

Di luar kehendak orangtuanya, tiba-tiba Luther membatalkan studi hukumnya, dan pada bulan Juli secara mengejutkan ia masuk biara. Bisa dipastikan ayahnya sangat kecewa dengan keputusan itu. Ia masuk Biara Santo Agustinus di Erfurt yang sangat ketat. Tujuannya agar ia mendapatkan kepastian akan keselamatan melalui kesucian hidup. Pada tahun 1507 ia ditahbiskan imam dan pada tanggal 2 Mei tahun itu juga ia mempersembahkan misa pertama. Pengalaman misa pertama itu menimbulkan teror baginya. Ketakutan karena ia menyadari masih sebagai orang berdosa namun mendapat ‘hak’ untuk menyapa Allah benar yang hidup dan kekal. Selanjutnya menyusulah bulan-bulan penuh kecemasan. Ia mencari kekuatan dari tradisi Gereja dan monastik untuk membuat dirinya merasa diterima oleh Tuhan dan mendapatkan keselamatan. Ia bermatiraga, berpuasa, kadang-kadang beberapa hari tidak makan.

Dari periode mengajar teologi di Wittenberg inilah, Luther mendapat pencerahan. Hal ini perlahan-lahan dirasakan ketika sedang membaca perikop Roma 1:17, “Orang benar akan hidup dalam iman” (Justus ex fide vivit). Teks ini membawa pencerahan bagi Luther bahwa orang dibenarkan karena imannya. Bagi Luther, iman bukan pertama-tama suatu persetujuan budi dan kehendak manusia atas pewahyuan diri Allah melainkan jawaban dari hati yang utuh dan hati yang syukur kepada Allah. Maka paling penting adalah penyerahan diri total kepada Allah. Luther percaya bahwa “Justification is by faith alone .”

Disposisi Keadilan

Luther agak terkejut bahwa peziarahan religius dan pengalaman pencerahannya tentang “pembenaran karena iman” membuatnya menjadi orang penting di Jerman dan seluruh Eropa Barat. Dalam setiap khotbah sebenarnya lebih menekankan perlunya pembaharuan hidup moral dalam Gereja. Namun yang khas bagi Luther adalah masalah indulgensi, yakni kepercayaan bahwa Paus dapat mengambil perbendaharaan rahmat yang diperoleh oleh para orang kudus dan digunakan untuk menghapus hukuman atas dosa-dosa bukan hanya bagi orang yang masih hidup, tetapi juga bagi jiwa-jiwa di api pencucian. Kalau indulgensi diberikan, maka hukuman api penyucian bisa dikurangi atau diakhiri samasekali. “Begitu bunyi uang masuk ke dalam kotak derma, saat itu juga jiwa dikeluarkan dari api pencucian,” ungkap Pastor Johann Tetzel OP.

Praktik indulgensi itu membuat Luther menempelkan semacam ‘buletin universitas’ yang terdiri dari 95 tesis pada pintu Gereja istana di Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517, hari yang disebut sebagai hari lahirnya Protestantisme. Menempelkan tesis di pintu Gereja adalah prosedur yang biasa untuk mendapatkan perhatian atas suatu masalah yang ingin didiskusikan.

Dalam bahasa yang keras dan tegas Luther menentang praktik-praktik indulgensi. Ia menentang praktik pengumpulan dana di Jerman untuk membangun Gereja di Roma dengan mengatakan bahwa hanya sedikit orang Jerman akan berdoa di sana, bahwa Paus sebenarnya cukup kaya untuk bisa membangun sendiri Gereja itu, dan bahwa Paus sebenarnya lebih baik memberikan seorang imam yang baik kepada umat daripada memberikan indulgensi kepada mereka. Indulgensi tidak menghapus kesalahan dan bahwa Paus hanya bisa menghapus hukuman-hukuman yang ia sendiri ciptakan di dunia ini. Paus tidak punya jurisdiksi sampai ke api penyucian.

Di luar dugaan Luther, tesisnya yang memuat 95 daftar pertanyaan atau dalilnya itu mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Dalam beberapa bulan tesis itu dicetak dalam teks aslinya, Bahasa Latin, dan juga terjemahannya dalam dialekdialek local daerah Jerman sehingga dapat dibaca oleh umat di seluruh Jerman. Akibatnya, Luther yang masih seorang imam dan biarawam ordo Santo Agustinus itu menjadi bahan kontroversi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Walaupun sebenarnya Luther tidak berniat untuk melawan Paus dan membangkang dari Gereja Roma, namun Luther tidak mau menarik kembali tesistesisnya.

Gebrakan Luther melahirkan Reformasi Protestan. Pandangan-pandangan Luther “menandingi” tiga ajaran dasar Katolik yaitu Kitab Suci, Tradisi dan Kekuasaan Magisterium. Sementara Luther memprioritaskan sola gratia (hanya kasih), sola fide (hanya iman), dan sola Scriptura (hanya Kitab Suci). Makna teologis dari tiga poin ini adalah manusia hanya dapat diselamatkan oleh anugerah, dan manusia akan mendapatkan keselamatan yaitu menyerahkan diri dalam iman. Selanjutnya dalam Alkitab, manusia dapat mengenal Yesus dan kehendak-Nya.

 

Spiritualitas Ugahari

Saat pekan Doa Sedunia pada Oktober tahun ini, delegasi Lutheran dan denominasi Gereja Reformis berkunjung ke Vatikan. Uskup Turku (Lutheran), Kaarlo Kalliali memimpin delegasi Lutheran Finlandia. Dalam sambutan hangatnya, Paus Fransiskus mengenal lagi perjalanannya ke Swedia. “Berada di sana memberi kami keberanian dan kekuatan dalam Tuhan kita Yesus Kristus untuk melihat perjalanan ekumenis; bahwa kita dipanggil berjalan bersama.”

Presiden Dewan Kepausan untuk Persatuan Umat Kristiani Kardinal Kurt Koch juga menyambut gembira kedatangan delegasi Lutheran. Kardinal Koch menyebut, 2016 sebagai tahun yang sangat ekumenis. Hal itu ditandai dengan beberapa momen, seperti pertemuan Paus dengan Patriark Orthodoks Rusia di Havana, Kuba, pertemuan dengan beberapa Patriark lain, dan pertemuan dengan Lutheran di Swedia.

Karena Gereja pada kenyataannya sekarang ini sudah terdiri dari Gereja Katolik dan Gereja Protestan dari pelbagai denominasi, dan Konsili Vatikan II sendiri telah menetapkan dekrit tentang Ekumenisme, maka sebaiknya dalam semangat kerendahan hati, baik Katolik maupun Protestan dengan jujur mengakui di hadapan Tuhan kesalahan masing – masing. Semangat pertobatan itu kemudian dilanjutkan dengan semangat cinta kasih untuk melihat semua yang sama dan menyatukan antara katolik dan protestan dan menghindari perbedaan.

Dalam semangat iman St. Paulus dalam Roma 8: 28: “Aku tahu sekarang bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia; baiklah kita melihat sejarah Gereja dan segala sesuatu yang telah terjadi di dalamnya, termasuk munculnya Protestantisme yang pasti bukan dari kehendak dan kekuatan Marthin Luther sendiri, sebagai penyelenggaraan Tuhan yang penuh misteri dan penuh cinta. Semoga Umat Katolik dan Protestan semakin bersatu seperti doa Yesus, “Semua mereka semua menjadi satu, seperti Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 17: 21).

Kerjasama Lutheran-Katolik

 KATOLIK Roma membuka diri terhadap ekumene pada abad XX, melalui kerjasama dalam hal praktis kemanusiaan dan ibadat, dialog teologis, serta kelembagaan bersama. Secara mondial, ekumene antar Gereja berbeda aliran mulai digagas dalam Konferensi Misi Dunia di Edinburg tahun 1910. Pada 1920, Patriark Konstantinopel mempromulgasikan ensiklik tentang gerakan kerjasama dan penyatuan Gereja-gereja. Selang satu dasawarsa, terjalin kerjasama dalam beberapa bidang dan mengerucut pada pembentukan organisasi-organisasi dunia.

Pada 1948, Gereja mendirikan world Council of Churches (WCC) di Amsterdam, Belanda. Pada 2005 anggotanya sudah mencapai 349 termasuk Gereja Lutheran. Kerjasama ini kemudian berpuncak pada Joint declaration on the Doctrine of Justification yang dikeluarkan oleh The Lutheran World Federation and The Catholic Church. Kerjasama lain adalah Pernyataan Pengakuan Augsburg oleh Komisi Bersama Katolik Roma dan Lutheran tahun 1980 dengan tema “Semua di bawah Satu Kristus.”

Kerjsama ekumenis berikutnya adalah dalam kesepakatan oleh Komisi Studi Bersama Lutheran-Katolik Roma  di New York; Geneva, 1984. Kerjasama ini berlanjut  dengan diadakan Evaluasi dari Konsili Pontifical untuk Mempromosikan Persatuan Kristen dalam hari studi Lehverurteilungen, tahun 1992.  Hubungan Katolik dan Lutheran cukup unik, terutama sejak 2013, Lutheran World Federation dan Gereja Katolik, di Jenewa, merilis dokumen bersama bertajuk, “From Conflict to Communion.” Hal ini bertujuan mengatasi konflik yang telah berlangsung beradab-abad. Kedua Gereja sepakat untuk merayakan bersama-sama peringatan 500 tahun reformasi Gereja tahun ini,

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *